Berapa yang diperoleh MUI dari sertifikasi halal?

6:15 AM
Berapa yang diperoleh MUI dari sertifikasi halal? - Tuntutan Komisi Informasi Pusat terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membuka laporan keuangannya, terutama dalam hal sertifikasi halal, ke hadapan publik kembali mencuat.
Meski begitu, mereka tak bisa memaksa MUI, atau lembaga publik nonpemerintah lain, untuk membuka data tersebut.
Kewajiban bagi badan publik non-negara seperti MUI untuk membuka data pengelolaan keuangannya sudah diatur dalam UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI, Ibnu Hamad, ketika ditanya tentang besaran dana yang diperoleh dan dikelola oleh MUI dari sertifikasi halal mengatakan, "Mohon maaf saya tidak bisa menyampaikan informasinya. Saya belum bisa menyampaikan karena belum menguasai informasinya." Saat ditanya tentang jumlah yang harus dibayar oleh pemohon sertifikasi halal, Ibnu mengatakan hal yang sama.


Namun, menurut Aisha Maharani, biaya yang dibutuhkan rata-rata adalah Rp3 juta untuk sertifikat yang berlaku selama dua tahun bagi usaha kecil dan menengah.

Aisha, seorang konsultan sertifikasi halal dan pelatihannya sering membantu usaha kecil dan menengah di bidang makanan dalam mengajukan sertifikasi halal ke Lembaga Pengkajian Pangan, Kosmetika, Obat-obatan, dan Makanan MUI.

"Tiga juta (rupiah) dibagi 24 bulan, per bulannya untuk dana legalisasi halal, seratus ribuan (rupiah) ya. Dan otomatis, begitu dapat sertifikasi halal, keuntungan langsung naik," katanya.

Dari pengalaman Aisha menjadi konsultan sertifikasi halal sejak 2013, prosedur keluarnya sertifikat bisa antara satu bulan, paling cepat, hingga lebih dari tiga bulan.

Tidak ada wewenang
Pemasukan yang diperoleh MUI, terutama dari LPPOM melalui sertifikasi halal, sering menjadi sorotan publik, terutama karena jumlah penerimaan yang tak transparan. Padahal yang menerima APBN, APBD, dan sumbangan masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri.

Akan tetapi komisioner Komisi Informasi Pusat, Henny S Widyaningsih, mengatakan lembaganya tak bisa memaksa MUI, atau lembaga publik nonpemerintah lain -seperti partai politik atau PSSI- agar membuka data mereka.

"Ini delik aduan, jadi sebelum ada pemohon, kami tidak bisa meminta. Kita review (informasinya), dan menyatakan ini informasi terbuka atau tertutup. Kalau informasi terbuka, wajib memberikan dia, tapi kalau sudah diputus oleh Komisi Informasi (informasi terbuka) dan tidak diberikan, itu bisa banding ke PTUN atau PN," kata Henny.

Jika kasus banding atas permintaan informasi tersebut berlanjut sampai ke Mahkamah Agung, maka badan yang tak mau membuka informasi publik tersebut terancam dijatuhi hukuman satu tahun penjara atau denda ganti rugi Rp5 juta untuk satu informasi yang tidak diberikan.
Memilih informasi untuk umum



Lalu, apakah MUI siap membuka data, termasuk soal pemasukan dari sertifikasi halal, kepada publik?

"Prosesnya memang, mau tak mau, MUI dalam hal ini khususnya, kalau mengikuti undang-undang ini, tahapan pertamanya adalah membentuk PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi)," jelas Ibnu Hamad.
PPID inilah yang nantinya, menurut Ibnu, akan menentukan informasi mana yang akan dibuka ke publik atau dikecualikan.

Saat ditanya apakah informasi tentang pemasukan soal sertifikasi halal termasuk yang akan dibuka ke publik, Ibnu menjawab, "Itu termasuk. Terutama yang sudah audited. Keterbukaan informasi juga ada aturannya."
"Bukan berarti dibuka begitu saja, tapi yang sudah audited."(Kabar Halal)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »